Dalam
rangkaian “Ekspedisi Indonesia Biru”, WatchdoC membuat sebuah film dokumenter
tentang Reklamasi Teluk Benoa. Mereka mengambil berbagai sudut pandang mulai
dari masyarakat Suku Bajo dan reklamasi ala mereka, pendapat pengusaha wisata
hingga pendapat masyarakat Tenganan dan Lombok Timur.
Film
dokumenter berjudul “Kala Benoa” berdurasi sekitar 50 menit itu bisa kamu
tonton secara gratis di Youtube, mungkin itu cara mereka melakukan
“perlawanan”. Setelah menontonnya
Film produksi Watchdoc ini dibuka dengan visual
peta Bali, Lombok, dan Sumbawa serta Pulau Bungin yang terletak di dekat
Sumbawa. Dandhy dan Ucok sebagai pembuat film memulai cerita dari Pulau
Bungin. Pulau kecil di NTB ini salah satu pulau terpadat di dunia. Dengan luas
hanya 12 hektar, jumlah penghuni pulau ini hingga 3.120 jiwa.
Selama 200 tahun, Suku Bajo yang tinggal di
Pulau Bungin telah menguruk pulau dari hanya 3 hektar menjadi 12 hektar seperti
sekarang.
Tidak ada investor properti yang sesabar orang
Bajo. Terutama bila hendak mereklamasi 700 hektar dengan 23 juta kubik pasir.
Kalimat pembuka itu menghubungkan Pulau Bungin dengan lokasi utama film Kala
Benoa, Teluk Benoa.
PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI),
perusahaan milik Tomy Winata, bos Artha Graha, ini berencana mereklamasi hingga
700 hektar di Teluk Benoa seluas 1.300 hektar tersebut.
Berbagai kelompok warga menolak rencana
reklamasi sejak 2013 silam itu. Salah satu yang konsisten menolak rencana
tersebut adalah Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Banyak kelompok
bergabung di forum ini, seperti mahasiswa, musisi, pemuda banjar, aktivis
lingkungan, warga adat, dan lain-lain.
“Banjar saya semua tidak setuju. Satu desa tidak
setuju. Alasannya? Kalau diuruk, bisa mati saya sebagai nelayan. Di mana saya
naruh sampan dengan teman-teman saya,” kata Ketut Karya, salah satu nelayan.
Dia diwawancarai ketika membersihkan sampannya.
Made Raram, nelayan lain, juga menolak karena
khawatir sebagai warga lokal akan terusir setelah Teluk Benoa direklamasi. “Pulau
Serangan kan dulu begitu. Pas diuruk langsung diusir orang-orangnya,” kata
Raram. Dia mengutip cerita tentang warga Pulau Serangan yang terusir dari
tanahnya sendiri ketika pulau itu direklamasi sejak 1994.
Rencana pemerintah provinsi Bali untuk melakukan
reklamasi inipun bertujuan untuk membangun lebih banyak hotel, pantai-pantai
privat, dan berbagai fasilitas mahal lain yang tidak akan bisa diakses oleh
masyarakat lokal. Bahkan masyarakat Hindu Bali bisa kehilangan akses untuk
melakukan berbagai upacara di pinggir laut, mengingat semakin banyaknya pantai
yang diprivatisasi. Jika ini terjadi, akan sedikit orang bisa menikmati
keunikan budaya Bali yang melekat dengan tradisi upacara-upacara Hindu.
Film dokumenter yang waktu pengambilan gambarnya
memakan waktu dua minggu di Bali serta seminggu di Lombok dan Bungin ini
menunjukkan biru dan tenangnya laut di Teluk Benoa. Jalan tol dan gunung di
ujung utara mempercantik suasana. Gambar-gambar cantik itu jauh dari citra
teluk rusak yang jadi alasan investor untuk mereklamasi.
Kala Benoa memberikan inspirasi bahwa kritik tak
harus disampaikan dengan keras. Penyajian keindahan laut yang biru dan tenang
di Teluk Benoa dalam film menyampaikan pesan bagi para pendukung reklamasi
teluk untuk tidak merusak keindahan alam tersebut. (Mahda)
Kesimpulan
Film dokumenter yang di garap oleh WatchdoC ini
sangat mempunyai sisi nilai yang edukatif tentang bagaimana cara menyampaikan informasi
dari berbagai sudut narasumber yang berbeda latar belakang.
Konsep dan pengambilan gambar yang di lakukan
tim tersebut juga sangat natural tidak terlalu banyak exploitasi kejelekan atau
memihak kalangan tertentu Riset,observasi dan konfirmasi juga ada dalam sebuah
dokumenter tersebut sehingga film ini mempunyai berbagai sudut pandang yang di
sajikan
Comments
Post a Comment